Aku clingak-clinguk ke beberapa ruangan kosong yang berada di depan untuk mencari colokan listrik. Ponselku sudah hampir habis baterai dan rasanya malas ke kamar yang berada satu gedung dengan tempat aku bekerja.
“Sahara, sini,” panggil Dokter Joehari yang berada di dalam salah satu ruangan terbuka tanpa pintu.
Malu-malu aku mendekat ke arah pintu masuk, “Ada apa, Dok?” tanyaku straight to the point.
“Kamu sedang apa? Sini masuk.” Dokter Joehari menawarkan Sahar untuk masuk ke ruangannya.
“Mau cari colokan, Dok. Bateraiku mau habis,” jawabku simpel.
“Oh, sini aja masuk. Kamu colok aja di sini. ngga apa-apa di ruangan saya aja,” ucap Dokter Joehari menawarkan, yang menurutku, ini orang baik yaa.
Aku menghampiri colokan listrik di bawah meja kerja dokter Joehari dan segera memasukkan kabel ke dalam ponsel. Selanjutnya, dokter Joehari mempersilahkan aku untuk duduk, ada dua kursi kosong tersedia di depannya.
Aku tidak ada pilihan lain selain mengikuti saja perintahnya. Simpang siur kaki-kaki melangkah di luar ruangan. Aku sudah merasa nyaman dengan situasi lingkungan pekerjaanku yang baru yaitu sebagai marketing kesehatan.
Bayangkan saja sudah dua minggu, kulewati dengan keterbiasaan. Satu demi satu petugas rumah sakit sudah kukenal secara tidak langsung.
Aku senang sebagai orang baru, mereka menyambut kehadiranku dengan baik. Walau masih saja ada pandangan yang tidak ramah, tidak sapa, atau sinis.
Aku mempunyai rumus jitu yaitu skill ilmu cuek. Jadi sebagaimanapun perlakuan dunia pekerjaan seperti ini, aku tidak pernah menggubris.
Inget pesan ibuku, “Tidak perlu cari muka, muka kita sudah ada.” Maksud dari kata-kata ibu adalah tidak perlu cari perhatian dengan makhluk sombong atau angkuh. Aku memahami pergaulan dan pertemanan sering sekali dilihat dari duniawi yang sifatnya sementara seperti jabatan, profesi atau kekayaan.
Jika mereka adalah orang yang tidak mampu atau tidak berprofesi, tentu perlakuan kita kadang sering berbeda. Titipan Tuhan memang selalu menggiurkan hamba-Nya. Lupa bahwa semua makhluk adalah sama. Supaya tidak ikut-ikutan terjerumus, aku sering menghindari lingkungan yang tidak sehat.
Tidak jarang, aku selalu lari kecil dan mencoba beralih pandangan untuk tidak berpapasan dengan pimpinan. Hehehe …. Termasuk Dokter Joehari. Bukan karena ia sombong, tapi aku rasa malas sekali jika harus berbasa basi.
Jika ada Dokter Joehari berada di koridor A, aku suka mencari lewat koridor lain. Jika ada dokter itu pula di meja meeting aula, aku suka menjauh.
Aku mendengar Dokter Joehari adalah pimpinan yang terkenal rame, aku pasrah saja menjadi pusat perhatian warga petugas rumah sakit kala itu. Setelah perkenalan di depan Aula N terjadi, aku suka tiba-tiba dipanggil untuk dijahili depan se-profesinya jika berada di hadapan atau terlintas depan dokter Joehari.
Malu sudah berkuadrat-kuadrat. Kadang kubalas dengan senyuman, kadang juga balas sedikit lalu pamitan pergi. Seperti keadaan sekarang, aku berusaha menghindari sosok ini eh tiba-tiba ketemu.
Aku tidak tahu harus membuka topik apa. Atau harus basa basi apa layaknya orang yang berkenalan, lihai mencari topik untuk sebuah pertemanan.
Dimulai lebih dulu oleh Dokter Joehari, membuka obrolan tentang masa pendidikannya sampai mendapat jabatan profesinya. Bagaimana ia mahir di bidang itu, menangani persoalan-persoalan yang ada dan menjadi dosen panggilan di beberapa kota tiap akhir pekan.
Dokter Joehari juga membuka pertanyaan seputar pendidikan, keluarga dan pekerjaanku selama ini. Topik meluas dan mengalir kemana-mana seperti batu mulai mencair. Aku baru merasa nyaman dengannya. Memang betul kata Ani, dokter Joehari enak, baik, luwes dan supel orangnya. Kayaknya ini orang down to earth, pikirku.
Pembahasan dari materi per materi saling tahu. Sampai pada titik tentang statusnya. Dokter Joehari menceritakan ada seorang wanita yang tergila-gila padanya dan setia menunggunya dengan melibatkan orang tua dari sang wanita.
Tidak ragu, ia membacakan text wanita itu dari ponselnya di depanku.
Aku mendengar saja apa yang diceritakan. Tidak terasa obrolan lebih dari 2 jam berlalu. Tepatnya ngalor ngidul selesai. Aku pamit dan mengucapkan terima kasih sudah diizinkan untuk menumpang charge ponselku. Dokter Joehari juga ikut berdiri lantas keluar dari ruangannya.
“Berapa nomormu?” tanyanya sebelum berpisah.
Aku ragu memberikan nomor Whatsapp yang akan kuganti. “Gini aja nomor Dokter Joehari saja, nanti saya kirim nomor,” kataku sembari membuka daftar kontak dan mencatet nomornya yang sudah disebutnya.
“Kamu lucu deh, panggil aku Dokter Joe aja atau Mas Joe, gimana?”
Aku tersipu malu, apalah arti sebuah panggilan. Lalu, ia melanjutkan dengan berkata, “Depan teman-teman boleh panggil lengkap Joehari,” katanya.
“Oh iya dokter Joe, terima kasih,” kataku disertai perasaan yang tiba-tiba terasa ada getaran di dada.
Aneh!
* * *
(Silahkan menekan episode berikutnya Part 10, sebelumnya Part 8).
Terima kasih pembaca, terima kasih teruntuk pemberi cerita cinta ini.
Jangan Lupa Bagikan ke Lainnya!