Tiba-tiba aku teringat akan petuah ibu, “Apapun yang kita kerjakan selalu kaitkan pada Allah, kaitkan pada Allah, kaitkan pada Allah, maka kamu akan aman di muka bumi ini.”
Suara motor sangat mengganggu pendengaranku seolah gendang telinga ini hendak pecah. Tanganku meraih ujung jaket abang Grab untuk memberi kekuatan pada diri ini dan mencoba bertahan mengikuti laju kendaraan.
Tangisanku pecah pikiranku membuyar saat melewati sorotan lampu-lampu malam. Antara pantulan sinar remang mobil, motor dan penerangan jalan raya membuat tangisku yang tertahan ini terasa ingin lepas, aku bingung harus mengadu pada siapa.
‘Ke mana aku harus pergi? Ini apa? Kenapa aku harus mengalaminya? Ya Allah, apa ini? Aku tidak mau suudzon tetapi tidak mungkin huznuzon. Aku manusia lemah.’
Lemah sekali aku ini!
Jeritan hati ini membuatku berkali-kali mengucapkan istigfar, mencoba menguatkan diri. Batinku menyerukan untuk tetap kuat dan harus kuat. Lagi-lagi batinku menjerit, “Aku? Serius ini aku? Terjadi padaku? Mengapa bisa?”
Tiba-tiba aku teringat pada ibuku setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya membuatku menangis dan kini semakin menjerit.
“Ibuuuu … aku mau pulang! Aku minta maaf, Bu …. Benar yang ibu bilang! Ibu, aku takut. Ibu, Ya Allah. Jika harus kecelakaan, matiku dalam keadaan husnul khatimah. Biarkan aku mati saja kalau begini. Ibu, maafkan aku sudah melawan kata-katamu. Aku banyak menyakiti dan membuat ibu menangis. Seharusnya, aku mendengarkan nasihat ibu, akhirnya aku banyak salah melangkah dalam cerita cinta yang kubuat. Aku seorang pendosa, bu. Aku harus ke mana?”
Tidak lama ponsel bergetar. Ada panggilan masuk, Mbak Dina. “Ya, Mbak?”
Suara Mbak Dina mengeras, “Sahar? Hallo? Hallo? Sahar, di mana sekarang?”
Kujawab sedikit agak berteriak sambil tersedak-sedak menahan tangisku, “Di jalan, Mbak. Tadi sempat ketemu Mas Joe.”
“Ha? Apa kata dia?” tanya Mbak Dina.
Aku merasa hilang arah, benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru aku alami barusan, “Tiada penjelasan sedikitpun kata yang keluar dari mulut Mas Joe. Aku takut, Mbak. Takut …,” ucapku tidak mampu menahan untuk menangis lagi dan lagi.
“Sahar, adikku. Kamu kuat kok, Dik. Dzikir ya sayang,” pesan Mbak Dina sembari sedikit memberi kekuatan padaku.
Aku mengangguk dalam tangisan. “Astagfirullah alazim … Astagfirullah … Astagfirullah. Kuatkan hamba Ya Allah, Astagfirullah,” rintih suara hatiku menahan perih luka di hati.
Sambungan telepon kumatikan.
* *
(Silahkan menekan episode berikutnya Part 3, sebelumnya Part 1).
Terima kasih pembaca, terima kasih teruntuk pemberi cerita cinta ini.
Jangan Lupa Bagikan ke Lainnya!