Menu
  • Bio Pena
  • Cerita Cinta
  • Petugas Haji
Menu

Cerita Cinta (Part 13): Tak Pandang Sebelah Mata

Posted on by Cicihuy

Aku terdiam di kamar, tubuh ini perlahan membaik dan selera makanku mulai naik. Sebagian petugas tidak seberapa menyukai menu katering rumah sakit tetapi aku justru sebaliknya.

Aku suka dengan menu sajian yang asyik dari rumah sakit. Bagaimana tidak? Aku terbiasa dengan menu sajian tempat kerja yang terkesan kaku dan membosankan jika ditemui setiap hari. Menu ibuku tidak jauh dari gaya healthy foods.

Masakan ibu enak tetapi keluarga kami jarang makan dengan menu dasar ayam dan daging. Ibu mengidap penyakit komplikasi, oleh sebab itu ibu lebih mengontrol kesehatannya dengan mengatur pola makan sehat, ketimbang merelakan badannya diracuni oleh obat-obatan kimia.

Momen ini, aku gemar menikmati makanan katering rumah sakit untuk disantap di dalam kamar. Aku kurang nyaman dengan pantry yang tersedia untuk tempat kami makan namun terasa sesak.

Aku sekamar sendiri. Sebagai pendatang baru, aku tidak memiliki roomate (teman kamar) seperti petugas perempuan yang lainnya. Satu kamar terisi 2 sampai 4 penghuni.

Tiga teman yang bersamaku yang menjadi petugas tambahan telah mengundurkan diri. Mereka menolak menjadi pendamping pasien yang ditugaskan untuk membersihkan popok pasien, memandikan pasien dan menyuapi atau mengurus pasien.

Kehendak berkata lain, aku beruntung masuk ke bagian marketing. Aku ingat sekali ketika diwawancara oleh tim managerial, ada salah satu atasan dengan nama Profesor Muhsin yang menempatkanku pada posisi tersebut.

Aku dipercayakan Allah melalui profesor yang tidakku kenal sama sekali. Ini betul-betul rejeki ini namanya, batinku berkata. Kala aku tergabung dengan rumah sakit, aku tidak tahu bidang apa yang harus kupilih. Di antara pilihan yang ditawarkan saat itu adalah bagian pendamping pasien, marketing atau aksi gerakan cepat.

Aku pasrah saja. I love to learn, learn by doing. I loves to study, study by processing. I love to explore, explore by experiencing. Tujuan utamaku adalah belajar. Belajar di lingkungan yang baru, bidang baru dan teman-teman yang baru.

Aku tergolong ansos (anti sosial) sejak lama, terutama sejak berada di Arab Saudi. Teman-teman seusiaku yang berstatus lajang sudah berkurang, teman kuliahku sudah berpencar, teman kantorku sudah berlari ke habitat masing-masing.

Aku tidak bebas bergaul di negara yang tertutup. Jika aku harus berteman dengan berkelompok atau ber-genk, aku memilih untuk mundur perlahan-lahan dari keadaan semacam itu. Tanpa menilai kejelekan, aku hanya tidak mampu membiasakan diriku masuk ke zona pergaulan yang kental dengan gaya berkubu pada suatu grup. Tidak banyak yang tahu jati diriku walau aku terkesan sosok yang ramai, supel dan cuek.

Aku menarik diri ketika berhadapan dengan kondisi pertemanan yang dilihat dari kaca mata harta, martabat, jabatan, status atau suku. Aku tidak dapat menerima pergaulan yang membeda-bedakan satu dengan lainnya seperti aku akan menggores hati nurani sendiri.

Bukankah dimata Allah semua manusia itu sama? Ketika umat-Nya harus bersujud mencium tanah? Ketika manusia pada akhirnya akan kembali ke Rabb-Nya.

Aku ingat pesan ibu yang telah membesarkanku pada lingkungan dimana semua makhluk Allah itu sama. Petuah ibu yang jadi panutanku, “Jangan Sahar pilih-pilih teman karena apa yang mereka miliki. Tapi, berteman lah karena akhlaknya, ibadahnya dan ikhlasnya.”

Tabiatku yang sederhana, mudah bergaul dengan siapa saja apabila aku lebih dahulu diterima oleh lingkungan. Aku malas jika harus menjadi inisiatif dengan gaya ‘caper’ alias cari perhatian, demi sebuah tujuan tertentu, simpati atau teman baru.

Menurutku, “Let it be if you wanna be.

Kita sudah punya muka, tidak perlu cari-cari muka,” kata ibu selanjutnya.

Hal ini terkesan aku hanya dekat dengan kepala tim marketing kelompok B, Pak Mustofa. Kedekatan kami diisukan pada hal yang tidak menyenangkan, bahkan konon kami memiliki hubungan khusus. Kerja di Departemen Marketing dibentuk per tim.

Aku bekerjasama setiap harinya dengan Pak Mustofa. Kami bertemu dengan stakeholder, rekan bisnis, institusi dan pasien bersama-sama.

“Kita kena gosip. Saya harus menghindar dari kamu, Sahar. Kita tidak bisa duduk bareng untuk kerja seperti ini,” ucap Pak Mustofa kala kami duduk bersama di ruang kantor.

 

“Astaga! Kenapa harus kita ya, Pak? Orang lain lebih ekstrim keluar tiap hari saja tidak ada terbesit pikiran seperti itu dari saya atau bapak juga ‘kan? Kita tidak mau mengurusi orang lain selain urusan kerja saja. Tidak ada terbesit di pikiran saya untuk melangkah jauh dengan pria yang sudah berkeluarga. Saya paham koridor sebagai wanita single,” belaku sedikit memanas ketika mendengar kabar tidak enak dari lingkungan Departemen marketing dan sekitarnya.

It likes you can not stop what people thought about you. It’s a life! It’s a reality that you are working in these place. Aku menelan ludah untuk lebih tenang dan berkata lagi pada Pak Mustofa. “Okey, terserah bapak. Saya paham, kita batasi saja.”

Aku pergi meninggalkan ruangan kerja dan bertemu dengan Dokter Joe yang keluar dari pintu lift.

“Sahara Medina, mau ke mana?” tanya Dokter Joe.

“Mau ke kamar, Dok” jawabku sambil menghentikan langkah kakiku. Pintu lift tertutup.

“Temenin yuk, mau beli burger,” ajak Dokter Joe.

“Di mana, pakai apa?” tanyaku lagi. Aku malas jika harus berjalan kaki walau jarak tempat beli burger diperkirakan berdekatan dengan rumah sakit. Udara di luar sangat panas.

“Di lorong sebelah, pake ambulance aja yuk!” desak Dokter Joe padaku.

“Loh? Emang boleh?” tanyaku kaget. Setahuku ambulance itu boleh dipergunakan hanya untuk operasional guna antar pasien.

“Boleh kalau sama aku. Nanti aku yang ngomong sama supirnya,” jawab Dokter Joe enteng.

Aku sedikit kaku ketika mendengar ucapannya, memanggil kata “Aku” untuk dirinya.

Dokter Joe keluar area parkir mobil ambulance dan mencari siapa supir yang boleh dimintai tolong untuk mengantar kami ke rumah makan beli burger.

Kalau dipandang, dilihat, diukur, ditelaah oleh pandanganku terhadapnya, Dokter Joe adalah bukan pria jahat atau buruk. Ia pria yang baik, enak, asyik, friendly, ceplas-ceplos, dan gemar menolong siapa saja yang membutuhkannya.

Tanpa diminta pun, Dokter Joe terkenal sigap untuk membantu orang lain. Itu mengapa ia dikenal sebagai sosok penolong yang baik tanpa pamrih. Orang-orang di sekitarnya tentu akan sepakat dengan sifat spontanitasnya yang gemar mengulurkan tangan untuk kebaikan.

Perlu diakui, tidak mudah menjadi penolong masa kini. Dokter Joe mengirimkan sinerji positif padaku dan sangat kurasa di pertemuan pertama kala itu.

Saking baiknya tentu aku tidak berpikir yang macam-macam padanya. Tentu ini pria baik.

Aku kagum.

* * *

(Silahkan menekan episode berikutnya Part 14, sebelumnya Part 12).

Terima kasih pembaca, terima kasih teruntuk pemberi cerita cinta ini.

Jangan Lupa Bagikan ke Lainnya!

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sinopsis AMS

Cerita Cinta Inspiratif.

Dua anak manusia yang seharusnya tidak bertemu di Mekkah. Namun, terkadang Allah menghadirkan kekuatan cinta yang luar biasa datang kapan dan dimana saja bagi hamba-Nya. Di saat Sahar sedang penuh dengan kasih sayang dari kedua orangtuanya, di situ ia pula ingin mengejar mimpinya untuk segera melepaskan masa lajangnya.

Sholeh, dewasa dan matang adalah sosok karakter impian Sahar untuk memilih pendamping sehidup sesurganya. Inilah yang dinamakan jodoh.

Perjuangan sebuah hubungan yang direstui oleh Sang Khalik telah dijalaninya meskipun jarak tempuh hubungan mereka sangat jauh. Antara Jeddah dan Jakarta. Sahar terlalu berani melangkah terlalu jauh dan seolah haus pada takdir yang menimpanya. Sahar kecewa kepada Allah, sujud yang tiada artinya, maju salah dan mundur pun salah. Cinta kepada pencipta-Nya terkikis oleh karena garis takdir yang tidak sesuai dengan keinginan Sahar.

Ketika tangan-tangan malaikat Allah ikut berbicara. Sahar digaris bawah kesadaran. Sahar tidak pernah bermimpi apa yang dilihatnya adalah nyata, tidak berharap apa yang dialami dalam sinetron dan drama Korea akan benar-benar terjadi juga padanya.

Sahar dihadapkan oleh pilihan diantara orangtua atau kekasih baru yang dikenalnya.

Akankah pertemuan dengan dokter Joe, pria yang berusia 50 tahun itu akan terjadi seperti janji yang telah diucapkan olehnya?

Recent Posts

  • Catatan Anak Petugas Haji
  • Cerita Cinta (Part 15): Jus Lemon
  • Cerita Cinta (Part 14): 14 September 2017
  • Cerita Cinta (Part 13): Tak Pandang Sebelah Mata
  • Cerita Cinta (Part 12): Ketoprak Ibu

“All characters appearing in this work are fictitious. Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental.”