Panas-dingin, panas-dingin. Aku sering kali merasakan perut terasa mules bak halilintar, karena diare dan muntah-muntah. Obat dari apotek telah kuminum tetapi tidak manjur juga. Aku tetap merasa tidak karuan. Kucoba untuk tetap tenang, mana tahu rasa sakit ini bisa segera sembuh.
Aku turun ke lantai rumah sakit, ke apotek lagi dan menanyakan resep lain jika tersedia. Rumah sakit ini memiliki apotek dengan ketersediaan obat yang terbatas.
Pintu lift terbuka, aku sudah berada di Lantai G. Aku keluar melangkah menuju apotek. Suasana informasi reseosionis yang berada di depan lift mendadak penuh oleh banyak petugas. Penghuni petugas shift malam.
Aku tahu mulai malam gini, mereka sudah siap terjaga. Dokter Joe nama yang ia minta untuk aku memanggilnya, berasa di sana dan menatapku.
“Sahara, Sahar, sini! …,” panggil Dokter Joe meneriakiku seperti biasa di depan yang lain, acuh tak acuh dengan suasana di sekitarnya.
Aku membalas senyum simpul dan malu, “Iya, Dokter Joe sebentar, aku mau ke apotek dulu,” jawabku berlalu begitu saja tanpa memperdulikan dirinya. Aku tidak tahan menahan perutku yang kesakitan yang meminta untuk buang air lagi ke kamar mandi.
Aku berlari menuju ke kamar mandi lalu keluar tergopoh-gopoh ke apotek. Aku mulai mengeluh kepada apoteker bahwa obat yang telah kuminum tidak memberikan efek apapun. Sayangnya, mekanisme permintaan obat di rumah sakit ini harus mendapat resep dari dokter terlebih dahulu.
“Mbak, siapa ya yang bisa nulis resep?” tanyaku males ikuti prosedur di rumah sakit ini. Karena aku yakin mbak apoteker dihadapanku tahu obat-obat lain untukku.
“Dokter yang jaga. Duty Manager pun bisa,” terang mbak apoteker.
“Dokter Joehari bisa?” tanyaku sepintas karena hanya kenal dokter ya Dokter Joehari.
“Oh bisa Mbak,” jawab Mbak apoteker tadi.
Aku menghampiri Dokter Joe yang sedang asyik mengobrol dengan petugas lain yang berada di sana mengelilinginya. Mereka tidak lain teman-temanku juga.
“Ya, kenapa? Kok pucat?” tanya Dokter Joe berdiri dan menghampiriku.
“Iya, Sahar nggak tahu nich, Dok. Tiba-tiba aja muntah-muntah sama diare, panas nggak turun-turun. Minta resep ya,” keluhku.
“Udah kamu sini diinfus aja,” ucap Dokter Joe menarik bajuku untuk membawaku entah ke mana.
“Nggak usah, Dok. Nanti juga sembuh sendiri kok. Tulis aja resep buat ke apotek,” tolakku tak kuasa membayangkan jarum suntik yang akan masuk ke urat nadiku saat diinfus.
“Ih, kamu ngeyel. Sudah ikut saya ke ruang NR, ada perawat saya lagi tugas di sana. Ami, Nadia, ayo temani Sahara,” panggil Dokter Joe sambil menekan tombol lift dan aku mengikuti saja tanpa ada penolakan sedikitpun dariku. Di belakang ada Ami dan Nadia membuntutiku.
Seumur-umur, aku tidak pernah ke ruang NR. Pasien rawat inap sudah memadati segala sudut. Sebagian sudah kosong terletak di ujung ruang. Agak ke belakang. Tidak banyak yang tahu. Masih terlihat kosong. Tidak ada penghuni.
Aku berbaring di tempat tidur pasien. Sebelumnya, Ami dan Nadia mendampingi pada posisi kanan dan kiriku. Mungkin takut pingsan kali ya.
Di hadapanku Dokter Joehari dan perawat tinggi, ukuran pemain basket sudah mantap berdiri siap siaga.
“Dery, infus bocah ini, Sahara Medina. Pucat sekali dia,” perintah dokter Joe seperti bos yang mudah minta infus kepada anak buahnya.
“Siap, Dok” jawab si lelaki tinggi yang tadi dipanggil Dery.
Sebelum pergi menyiapkan alat-alat infus, Dery terucap, “Tenang aja dok, nanti saya jaga.”
“Kamu istirahat aja, dibawa tidur. Ami. Nadia. Kalian mau di sini jaga Sahar?” tanya Dokter Joe kepada Ami dan Nadia.
“Udah, nggak usah. Makasih ya Dok, Ami, dan Nadia. Sekarang aku mau tidur aja deh.” Jawabku meminta mereka untuk pergi meninggalkan tempat ini karena aku lebih nyaman untuk tidak ditemani oleh siapapun.
“Oh okay, nanti kalau ada apa-apa Ami ke sini ya,” kata Ami yang membantuku.
“Kasih tahu kita ya… Nadia juga bisa ke sini kok, mau makan?” tanya Nadia.
“Nggak mau makan. Tiap masuk makan pasti keluar terus,” jawabku lemah Yaya.
Dery sudah datang dengan membawa alat tempur ditangannya.
“Kalau begitu kita tinggal kamu biar bisa istirahat ya. Dery kontrol terus infusannya. Jangan sampai kurang,” pinta dokter Joe sebelum pergi keluar bersama dengan Ami dan Nadia.
Aku kini memejamkan mata saat jarum suntik sudah masuk ke dalam nadiku. Aku tidak ingat apa-apa lagi selain ibu bapak. Aku memang jarang sakit.
Aku ingin menghubungi kedua orangtua tetapi ada rasa khawatir, nanti mereka panik padaku. Ponsel tertinggal di kamarku, tidak sempat dibawa tadi.
Aku lebih pasrah pada keadaanku. Tidak banyak komentar, tidak lama aku menangis setelah Dery pergi meninggalkan ruangan yang baru terasa sunyi.
Senyap.
Sehat itu ternyata mahal harganya.
* * *
(Silahkan menekan episode berikutnya Part 12, sebelumnya Part 10).
Terima kasih pembaca, terima kasih teruntuk pemberi cerita cinta ini.
Jangan Lupa Bagikan ke Lainnya!